Ad Code

Meredam Inflasi di Bulan Ramadhan


ADALAH hal yang sudah dianggap lumrah jika setiap menjelang dan selama Ramadhan dan Idul Fitri, masyarakat Indonesia menghadapi harga-harga barang kebutuhan pokok yang meroket, terutama bahan pangan. Meskipun kenaikan harga-harga barang tahun ini tak seheboh pada periode yang sama di tahun sebelumnya, tetapi tetap saja kenaikan ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan perekonomian masyarakat.

Salah satu pemicu kenaikan harga barang kebutuhan pokok ini adalah karena kuantitas konsumsi masyarakat yang justru meningkat menjelang dan selama Ramadhan dan Idul Fitri. Inilah fenomena kontradiktif yang terjadi pada masyarakat kita, dimana pada Ramadhan normalnya atau idealnya konsumsi itu berkurang, tetapi justru meningkat pesat terutama untuk kebutuhan makanan, pakaian dan energi (listrik dan BBM). Suatu fenomena yang fenomenal, kontradiftif dan sulit dijelaskan dengan logika sosial maupun ekonomi. Ditambah lagi Ramadhan tahun ini juga bertepatan dengan musim tahun ajaran baru yang menyebabkan belanja masyarakat untuk keperluan sekolah mengalami peningkatan.

Kondisi meroketnya harga-harga kebutuhan pokok tersebut tentu saja menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, terutama kalangan menengah dan bawah semakin tergencet. Sementara untuk kalangan menengah ke atas, kenaikan harga-harga barang mungkin bisa direspon dengan penggunaan uang cadangan atau tabungannya untuk keperluan belanja. Karena adanya penarikan uang cadangan atau tabungan, ini tentu menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat yang dampaknya justru berpengaruh pada tingkat suku bunga dan juga tingkat inflasi.

Inflasi Menjulang

Sekali lagi, kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok secara serentak seperti itu bisa mengakibatkan gelombang ekonomi yang menjulang, setidaknya tingkat inflasi juga semakin menjulang. Pada awal Juli lalu, Bank Indonesia merilis bahwa inflasi yang terjadi pada bulan sebelumnya atau Juni lalu ‘hanya’ sebesar 0.43 persen, yang merupakan inflasi paling rendah dan cukup terkendali dibandingkan dengan lima periode sebelumnya yaitu Juni 2010 inflasinya sebesar 0.97 persen, Juni 2011 sebesar 0.55 persen, Juni 2012 sebesar 0.62 persen, dan Juni 2013 sebesar 1.63 persen.

Inflasi bulan Juni lalu, lebih disebabkan oleh kenaikan harga di kelompok bahan makanan dengan andil 0,19%. Bebarapa bahan pangan yang mengalami kenaikan harga antara lain daging ayam ras dan telur ayam ras. Selain itu, kenaikan tarif listrik yang berlaku per 1 Mei juga memberikan dampak dan menyumbang inflasi (bersama bahan bakar) pada Juni sebesar 0.09 persen.

Selanjutnya Bank Indonesia juga memprediksikan bahwa inflasi pada Juli 2014 ini akan berada pada kisaran 0.8 persen sampai dengan 1.2 persen. Hal ini terjadi karena lebih dipicu oleh permintaan kebutuhan bahan-bahan pokok yang meningkat selama Ramadhan dan Idul Fitri. Meskpin tak terlalu besar jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, tetap saja inflasi ini mengkawatirkan dan membuat ketar-ketir masyarakat.

Memang inflasi tidak selamanya buruk jika diringi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang proporsional. Tetapi yang sering terjadi adalah inflasi justru membuat masyarakat semakin miskin karena pendapatan riilnya tergerus oleh inflasi. Inflasi juga mempengaruhi keinginan masyarakat untuk menabung dan investasi, serta turunnya daya beli masyarakat maupun berpengaruh terhadap stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi makro. Begitu dahsyatnya inflasi ini, sampai-sampai pemerintah secara khusus menugaskan beberapa kementrian dan otoritas perbankan (BI) untuk secara bersama-sama memantau, mengawasi, meredam dan mengatasi inflasi yang terjadi baik pada tingkat nasional maupun daerah.

Meredam Inflasi

Lalu bisakah kita meredam inflasi yang menjulang yang terjadi menjelang dan selama Ramadhan dan Idul Fitri? Kalau meredam inflasi sampai 0 persen tentu sesuatu yang hampir tidak mungkin dan justru merugikan perekonomian. Namun jika meredam inflasi sehingga tetap terkendali pada kisaran yang proporsional dengan tingkat suku bunga ataupun pertumbuhan ekonomi itu yang memungkinkan bisa dilakukan. Terkait dengan inflasi, saat ini Bank Indonesia telah menargetkan besaran inflasi sebesar 4.5 persen ± 1 persen.

Namun demikian, mengendalikan inflasi ini bukan semata-mata tugas dan kewajiban pemerintah saja, tetapi juga diperlukan peran serta pelaku usaha dan masyarakat umum. Pemerintah bisa mengendalikan harga yang memicu inflasi misalnya dengan menyediakan persediaan barang yang cukup dan mendistribusikannya dengan baik ke masyarakat. Operasi pasar juga bisa dilakukan dan merupakan jalan terbaik, setidaknya dalam jangka pendek bisa meminimalkan lonjakan harga. Demikian juga dengan pelaku usaha, seperti produsen dan pedagang, jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan masyarakat dengan melakukan penimbunan barang dan/atau menaikkan harga barang sesukanya untuk mengeruk keuntungan yang berlipat.

Sementara itu bagi masyarakat umum juga bisa membantu meredam inflasi dengan cara menjadi konsumen atau pembeli yang bijak. Masyarakat hendaknya membeli barang sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan, tidak melakukan pembelian besar-besaran dan apalagi melakukan penimbunan. Bukankah esensi puasa sesungguhnya juga mengajarkan pengendalian, termasuk juga dalam mengendalikan nafsu belanja. Pun demikian, jika memungkinkan konsumen bisa beralih ke barang subtitusi dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Tindakan menjadi konsumen yang bijak seperti ini jika dilakukan secara kolektif atau secara nasional tentu dampaknya akan luar biasa dalam mengendalikan inflasi. Stabilitas perekonomian di tingkat mikro (individu, rumahtangga) maupun di tingkat makro (nasional) akan tetap terjaga.

Dengan demikian inflasi yang terjadi meskipun fluktuafif atau naik-turun, tetapi tetap dalam kendali. Akan tercipta kondisi dengan inflasi yang moderat, inflasi yang ‘bermartabat’ yang tidak membuat melarat, dan inflasi yang secara ekonomi maupun secara psikologi bisa diterima semua lapisan masyarakat. Semoga!

*Sumber foto: medcom

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code